BUSINESS

Startup Daur Ulang Sampah Octopus Bidik Ekspansi ke 20 Kota

Mengintegrasikan solusi daur ulang sampah dengan teknologi.

Startup Daur Ulang Sampah Octopus Bidik Ekspansi ke 20 KotaCo-founder dan CMO Octopus Indonesia, Hamish Daud/Dok. IDN Media/Dayu Yudana
16 March 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menerapkan ekosistem ekonomi sirkular berbasis teknologi untuk manajemen daur ulang sampah, Octopus Indonesia akan berekspansi ke 20 kota baru. 

“Kita akan ekspansi ke 20 kota baru. Tak hanya mengaktifkan aplikasi, tapi memberi dampak dan merangkul lebih banyak pelestari dan bank sampah,” ujar Co-founder dan CMO Octopus Indonesia, Hamish Daud, dalam diskusi “Balancing Performance with Purpose” di Fortune Indonesia Summit 2023, Rabu (15/3).

Tak hanya memperluas jangkauan, pihaknya juga ingin menggandeng lebih banyak pelestari. Octopus juga bekerja sama dengan pemerintah, UMKM, dan pihak swasta dalam waste management. 

Didirikan pada 2019 oleh Mohammad Ichsan, Hamish Daud, Niko Adi Nugroho, Rizki Mardian, dan Dimas Ario, Octopus merupakan platform ekonomi sirkular yang dibuat untuk membantu mengatasi masalah sampah, yang memungkinkan pengguna/konsumen mengirimkan kemasan bekas pakai untuk didaur ulang menjadi produk yang bernilai jual.

Hamish mengatakan, kini Octopus sudah menjangkau 12 kota di Indonesia, di antaranya Makassar, Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, dan Bali.

Berambisi menjadi one stop circular economy platform, Octopus mengklaim sudah mendigitalisasi lebih dari 200 bank sampah, serta memberi pelatihan ke 26 ribu pelestari atau pengumpul sampah. Jenis yang dikumpulkan juga bervariasi, mulai dari plastik,sampah organik, sampah elektronik, hingga minyak jelantah.

Mayoritas pelestari ini sebelumnya adalah pemulung yang diberi pelatihan cara menggunakan aplikasi dan mengenali sampah kemasan yang sesuai dengan standar industri daur ulang. Banyak pula dari mahasiswa, korban PHK, dan sebagainya.

“Awalnya ketika dibawa ke bank sampah ada 52 persen rejection rate, nggak bisa didaur ulang karena terkontaminasi, low grade, dan sebagainya. Dari sana kita mengedukasi pelestari dan sekarang rejection rate sudah satu persen,” kata Hamish.

Strategi monetisasi dan memperluas dampak ekonomi

Octopoint di MBloc/Dok. Octopus Indonesia

Mengintegrasikan solusi daur ulang sampah dengan teknologi bukan hal mudah. Banyak stakeholder yang dirangkul, termasuk sektor informal. 

“Kami mempertemukan sektor informal, yaitu pelestari dan juga pengepul yang melakukan jual-beli barang, tujuannya untuk meningkatkan keuntungan mereka. Ada pula insentif yang diberikan,” kata Hamish.

Tantangan lainnya, yakni menyadarkan dan mengubah mindset tiap individu di masyarakat untuk memilah sampah. Untuk itu, Octopus mengembangkan tiga aplikasi yang bisa digunakan oleh pelestari, pengepul, dan konsumen. 

Para pengguna aplikasi tidak hanya ikut berkontribusi dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan, tetapi mendapatkan keuntungan dari setiap sampah yang dikumpulkan. Keuntungan yang didapat berbentuk poin dari berbagai mitra Octopus dan dapat ditukarkan dengan berbagai keuntungan dan manfaat untuk kebutuhan sehari-hari, seperti pembelian pulsa, token listrik, hingga pembelian produk F&B.

Hamish menjelaskan, untuk saat ini strategi monetisasi yang dijalankan adalah B2B. Octopus fokus memenuhi permintaan industri lewat dasbor pengolahan data. Ia pun membuka kesempatan bagi berbagai pihak untuk bekerja sama.

Kehadiran Octopus memperpanjang daftar pemain di industri teknologi ramah lingkungan dan daur ulang sampah. Sebelumnya, telah ada Waste4Change, Rekosistem, Mallsampah, dan beberapa perusahaan serupa di Indonesia.

Related Topics