BUSINESS

Sepak Terjang Bankir Kawakan Jahja Setiaatmadja Pimpin BCA

Jahja sempat dipinang bank lain, namun memilih setia di BCA.

Sepak Terjang Bankir Kawakan Jahja Setiaatmadja Pimpin BCAJahja Setiaatmadja/ Businessperson of The Year
24 November 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Sepuluh tahun menjadi orang nomor satu di PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja punya segudang kisah untuk dibagikan. Dimulai dari perjalanan hidupnya yang cukup menarik, karena Jahja bukanlah pewaris takhta di Grup Djarum.

Kepiawaiannya dalam memimpin bisnis dan bersahaja dalam bersosialisasi membuat Jahja dikenal oleh semua kalangan. Tak ayal, Jahja telah dinobatkan sebagai salah satu sosok Bussinessperson Of The Year 2021 oleh Majalah Fortune Indonesia.

Jahja membagikan kisahnya sejak awal mula bergabung ke BCA saat tahun 1990-an, kala BCA masih menjadi ‘perusahaan keluarga’. Ya, BCA adalah bank swasta milik Keluarga Hartono. BCA kemudian menjadi perusahaan terbuka pada 2000, namun dua bersaudara Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono masih menjadi pemegang saham mayoritasnya.

“Saya bukan dari keluarga orang kaya. Saya juga pernah merasakan tidak punya uang,” katanya dalam wawancara dengan Fortune Indonesia, beberapa waktu lalu.



 

Bercita-cita menjadi dokter gigi

Jahja muda ingin menjadi dokter gigi. Tapi ayahnya yang bekerja sebagai pegawai biasa di Bank Indonesia memintanya kuliah ekonomi di kampus negeri yang biaya pendidikannya lebih murah. Ia menurut dan masuk Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

Setelah lulus, ia mengawali karier sebagai akuntan di Pricewaterhouse Coopers pada 1979. Baru setahun bekerja di sana, Jahja kemudian pindah sebagai Direktur Keuangan Kalbe Farma. Selanjutnya, pada 1989, ia bergabung dengan perusahaan otomotif di bawah Grup Salim, Indomobil Group. Baru pada 1990 Jahja hijrah ke BCA yang saat itu masih menjadi bagian dari Grup Salim.

Tetap setia dengan BCA

Krisis moneter 1998 sempat membuat BCA terguncang. Besarnya arus dana keluar membuat BCA harus pasrah menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sempat dimiliki pemerintah, BCA kemudian berpindah tangan ke Grup Djarum. Sementara itu, Jahja masih setia dan bertahan di BCA.

Bahkan, ada yang sempat mengajak Jahja bergabung dengan perusahaan lain, namun Jahja menolaknya. “Insting saya mengatakan, cobalah tetap setia. Saya lihat lingkungannya enak, dan pada saat itu para pemegang sahamnya juga baik. Sampai sekarang pun tetap baik,” ujarnya.

Insting tersebutlah yang kini membawanya menjadi pemimpin di BCA. Karakteristik kepemimpinan Jahja juga dinilai cukup unik dengan tidak terlalu mementingkan target dalam proses bisnis serta penyelenggaraan sebuah acara.

Salah satu contoh yang Ia ambil pelajaran ialah kala kinerja Kredit Pemilikan Rumah (KPR) miliknya sempat merosot akibat pandemi COVID-19. Di mana sales new KPR BCA dalam sebulan sebelum pandemi sempat menyentuh angka Rp2 triliun dan sempat merosot hanya Rp800 miliar sejak awal pandemi.  Meski demikian, dengan kinerja solid antar tim membuat kinerja semakin membaik dan mencetak new sales KPR hingga Rp15 triliun dalam tiga bulan penyelenggaraan virtual event.

“Saya anti target target. You do the best tapi everyday Saya plototin hasilnya kurang apa, perlu bantuan apa, ayo kita perbaiki, kita support. Dan hasilnya luar biasa, gitu aja very simple sebenernya. tapi ya workable,” kata Jahja.

Tak hanya piawai dalam meracik strategi dan menentukan arah bisnis, Jahja juga cermat dalam pemilihan struktur tim dalam susunan direksi. Meski pemilihan direksi tak sepenuhnya berasal dari pilihannya, namun Jahja mengaku cukup terbuka untuk mengambil talent-talent bankir berkualitas dari luar ekosistem BCA. Sebut saja beberapa jabatan Direktur BCA di antaranya Vera Eve Lim dan John Kosasih yang dipinang BCA dari Bank Danamon. Ada juga Direktur BCA Haryanto Tiara Budiman yang sebelumnya sempat menjabat sebagai Managing Director & Senior Country Officer J.P. Morgan Indonesia. Menurutnya hal tersebut wajar saja terjadi bilamana bankir dengan spesialisasi keahlian tertentu dibutuhkan.

“Di BCA banyak spesialisasi. Jadi kalau kebetulan yang dibutuhkan spesialisasinya bidang yang lain, dan kita gak punya orang jujur saja (mengambil dari bank lain) seperti itu, jadi mau tidak mau harus bisa merekrut dari luar juga,” kata Jahja.

Related Topics