Wawancara Direktur IMPC, Phillip Tjipto: Minat Berbisnis Tumbuh Bertahap
Jakarta, FORTUNE - Phillip Tjiptodihardjo lahir dalam keluarga pebisnis—kakeknya adalah pendiri PT Impack Pratama Industri Tbk (IMPC). Sang ayah lalu memiliki cara tersendiri untuk menumbuhkan minat berbisnis Phillip.
Bagaimana caranya? Salah satunya, dengan memberikannya kesempatan untuk mengambil keputusan berdasarkan analisis sendiri. Secara bersamaan, ia juga diberi ruang membuat kesalahan, lalu memperbaiki langkahnya berdasarkan hal tersebut. Dalam analoginya, itu serupa dengan 'teori panci panas'.
"Ini saya analogi sendiri. Ada panci panas, tapi panasnya, kan, enggak bisa dilihat pakai mata. Papa selalu ngomong, ‘jangan pegang, ini panas.’ Tahu dari mana saya kalau enggak pegang beneran? Enggak kapok, kan? Menurut saya, saya harus pegang sedikit. Biar saya tahu rasa panasnya, sakitnya. Biar kapok, biar saya belajar, dan biar saya humble," katanya kepada Fortune Indonesia, Juni 2025.
Dalam sesi wawancara khusus tersebut, Phillip juga membagikan kisah seputar alasan di balik tumbuhnya minatnya ke dunia bisnis. Berikut ini sebagian rangkuman kisahnya:
Anda mulai mengikuti sejumlah program pemagangan sejak muda. Bagaimana awal mula keputusan itu diambil?
Saya intern pertama itu kelas 10 SMA. Memang belum mengerti banyak. Tapi, saat itu saya intern di Malaysia. Kenapa? Salah satunya, supaya saya keluar dari zona nyaman ya. Kan jadi tidak bisa pulang ke rumah. Keluarga juga ada di beda tempat. Jadi, memang dipaksa belajar untuk merasa tidak nyaman.
Programnya memang hanya sekitar 3 minggu sampai sebulan, tapi saya di sana lebih belajar dengan memerhatikan. Saya ikuti salesman, memutari toko-toko, ke konsumen, minta feedback. Saya ikuti orang logistik untuk lihat pengiriman produk, ikut tim warehousing untuk lihat cara mereka menata produk dengan rapi dan efisien.
Intinya sih, intensinya supaya saya melihat bagaimana kenyataan di dunia usaha. Kalau sekolah kan, seperti playground ya, ada teman-teman main, guru, ada sistem. Ini ditunjukkan dunia di luar seperti apa?
Mengapa di Malaysia? Mengapa tidak di Singapura atau Thailand?
Memang waktu itu kami ada kantor di Malaysia, yang baru dibuka juga. Jadi saya diminta belajar dan lihat-lihat kantor itu lebih dulu. Itu sekitar 2010.
Bagaimana kesan yang Anda dapat dari pengalaman tersebut? Apa yang terlintas di benak Anda setelah mengikutinya?
Setelah melihat itu, pertama, enak juga ya sekolah. Maksudnya, di luar sekolah, kerja itu sebenarnya tidak seromantis yang kadang-kadang diceritakan orang-orang. Jadi saya kan ke gudang juga. Kalau dulu saya pikir, kerja itu kan di kantor, enak ada AC. Tapi kan tidak semua pekerjaan begitu. It was a snapshot for me to see, ini bidang di mana kita beroperasi, kita di sektor yang memang operasionalnya begini. Jadi, supaya tidak kaget mungkin ya.
Selama ini, selain sekolah dan ikut program magang, apa Anda diwajibkan mengikuti kursus/les secara rutin? Atau mungkin program mentorship untuk mempersiapkan diri meneruskan perusahaan di masa depan?
Kalau les ada, tapi bukan les bisnis. Les Bahasa Mandarin, piano. Tapi kalau bicara bisnis, memang keluarga saya itu cukup business oriented. Jadi sejak kecil, saya juga cukup bersyukur, Papa saya cukup mau sharing tentang pekerjaannya.
[Sementara] teman-teman saya yang lain, waktu SMA gitu, banyak yang tidak tahu papanya kerja apa. Tapi saya waktu itu [sudah] tahu, Papa kerja apa. Saya lebih mengerti detailnya, Papa jual apa, bahannya apa, dijual ke mana, harganya berapa. Itu sudah mulai mengerti. Jadi kalau makan malam, selalu ada sharing-sharing. Kalau ada cerita yang cukup menarik di kerjaan, biasanya Papa saya suka sharing. Jadi, itu yang lama-lama membuat saya ikut tertarik, gitu.
Papa saya tuh tidak pernah maksa sebenarnya suruh saya masuk [dunia bisnis]. Ini saya beda pendapat sama banyak orang ya. Banyak orang sebenarnya tak suka tapi dipaksa masuk. Kalau misalnya saya mau jadi koki, pemain bola, atau apa pun, Papa akan dukung. Tapi karena saya dari kecil suka diceritakan sama Papa, suka diajak saat dinner meeting, mendengarkan saja, walau dulu tidak mengerti, saya jadi lebih familiar, lebih comfortable.
Bisa dibilang, dari saya kecil, Papa sudah sedikit-sedikit seperti menebar benih. Jadi, lama-lama ya tertarik juga, merasa ada tanggung jawab, merasa ada legacy yang harus diteruskan. Jadi setelah saya lulus SMA pun saya sudah tahu, saya ke depannya, inilah jalan saya. Tapi bukan dengan terpaksa.
Selain eksposur ke pekerjaan, apakah Pak Haryanto Tjiptodihardjo turut membentuk semacam family constitution? Apa Pak Haryanto juga meminta Anda memilih antara bisnis atau keluarga?
Tidak ada ya. Kalau kami, family is family, business is business. Terkadang itu saling terkait. Maksudnya, misalnya saat makan siang, saya dan Papa membicarakan kerjaan. Tapi kalau misalnya ada beda pendapat, kami bicaranya bukan dengan marah-marah. Lebih konstruktis gitu, progresif.
Menurut saya, hubungan kami juga sangat baik, baik di ranah keluarga maupun di kantor. Karena mungkin juga sudah mengerti karakteristik satu sama lain seperti apa. Jadi sudah bisa fill in the blanks. Mungkin [seperti] Batman-Robin atau yin-yang. Karena strategi kami juga berbeda-beda, jadi tidak bisa dua orang terlalu sama. Jadi ya saling menutupi kekurangan masing-masing.
Namun intinya, tidak ada yang seperti itu di antara kami.
Dari diri Anda sendiri, ada momen di mana akhirnya berpikir seperti, "Saya harus meneruskan apa yang Papa kerjakan"? Kalau ada, kapan dan di usia berapa?
Tidak ada satu titik di mana saya merasa demikian. Ini terjadi bertahap. Dengan sharing yang Papa lakukan tahun demi tahun, saat Papa saja mengajak saya melakukan ini dan itu.
Tapi kami saling mengerti. Papa saya juga orangnya kan profesional. Dia juga harus lihat ini, walaupun keluarga, walau saya anaknya, kalau saya orang yang tidak becus, saya sembarangan, kerjanya tidak baik, tidak bertanggung jawab, ya saya tak akan in charge gitu. Jadi semua balik lagi ke prestasi, merit based.
Waktu kuliah ke Amerika itu, apakah itu pilihan Anda sendiri? Mengapa memilih itu?
Ya, saya kan S-1 di University of Southern California. Itu saya ambil jurusan administrasi bisnis. Semua pelajaran bisnis, tapi pengetahuan dasarnya, seperti keuangan, akuntansi, pemasaran, manajemen operasional. Semuanya wajib.
Makanya saat S-2 saya ambil yang lebih spesifik karena sudah mengerti sedikit-sedikit semua aspek itu. Saya ambl satu yang lebih spesifik, yaitu pemasaran. Jadi buat magister saya ambil pendekatan berbeda, saya pilih yang saja enjoy dan bidang yang saya merasa lebih berbakat. Di pelajaran seperti matematika, saya cukup lemah. Jadi saya pemikirannya begini, daripada kemampuan matematika saya naik dari bad to okay, lebih baik kemampuan pemasaran saya ditingkatkan dari good to great. Dari kemampuan yang baik, saya asah lagi agar lebih tajam kemampuan saya.