CSIS: Pendekatan Keamanan di Ruang Sipil Berisiko Ciptakan Masalah Baru

- CSIS menilai penggunaan instrumen militer dalam menghadapi aksi massa sipil berpotensi memperluas perlawanan masyarakat.
- Normalisasi penggunaan instrumen militer di ruang-ruang sipil dapat memicu gesekan dengan institusi lain, termasuk kepolisian.
- Koreksi atas otoritas TNI dan peran kepolisian mendesak dilakukan agar demokrasi berbasis sipil tetap terjaga.
Jakarta, FORTUNE - Penggunaan pendekatan keamanan dan instrumen militer dalam menghadapi dinamika sosial dinilai sebagai langkah tidak bijak dan berisiko menciptakan instabilitas baru. Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memperingatkan, cara tersebut dapat memperluas perlawanan masyarakat jika pemerintah tidak berkonsentrasi menyelesaikan akar masalah pada bidang ekonomi, politik, dan hukum.
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Nicky Fahrizal, menegaskan pemerintah perlu meninggalkan pendekatan keamanan yang selama ini kerap dijadikan jalan utama. Menurutnya, fokus pada keamanan tanpa menyentuh akar persoalan merupakan pilihan kebijakan yang keliru.
“Ada persoalan ekonomi yang ditopang oleh masalah politik dan hukum. Jadi, jika tetap mengedepankan keamanan, itu pilihan yang tidak bijak dan berpotensi menimbulkan masalah baru,” kata Nicky dalam diskusi publik bertajuk "Wake up call dari Jalanan: Ujian Demokrasi dan Ekonomi Kita", Selasa (2/9/2025).
Lebih lanjut, Nicky mengingatkan normalisasi penggunaan instrumen militer di ruang sipil dapat memicu gesekan dengan institusi lain, termasuk kepolisian. Hal ini dinilai dapat mengganggu keseimbangan peran antaraktor keamanan dan justru memperlebar ketegangan dalam kehidupan bernegara.
“Satu-satunya cara untuk menata ulang kondisi ini adalah mengembalikan aktor-aktor keamanan pada porsinya, sesuai jalur masing-masing,” ujar Nicky.
Ia menyoroti revisi Undang-Undang (UU) TNI yang memberi keleluasaan bagi militer untuk masuk ke ruang sipil. Di sisi lain, peran kepolisian saat ini juga dinilai terlalu besar. Menurut Nicky, koreksi atas otoritas kedua institusi tersebut mendesak dilakukan demi menjaga demokrasi berbasis sipil.
Nicky menekankan, tanpa koreksi, tatanan politik dan hukum yang seharusnya berlandaskan sipil akan terganggu. Solusi jangka panjang, menurutnya, bukan sekadar menjaga stabilitas keamanan sesaat, tetapi memastikan akar masalah di bidang ekonomi, politik, dan hukum ditangani secara tuntas.
“Jika tidak, pemerintah berisiko menambah luka baru di tengah masyarakat,” ujarnya.