Bukan Protes Biasa, CSIS Ungkap 4 Akar Keresahan Ekonomi di Balik Demonstrasi Massal

- Gelombang demonstrasi dipicu krisis kepercayaan dan ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat.
- Kontradiksi dalam pembayaran pajak dan kebijakan efisiensi pemerintah menciptakan krisis legitimasi fiskal.
- Pertumbuhan ekonomi stabil, tapi ketimpangan distribusi ekonomi terjadi dengan kelas menengah yang menyusut dan lonjakan harga pangan.
Jakarta, FORTUNE - Gelombang demonstrasi yang meluas di berbagai wilayah dinilai bukan sekadar bentuk ketidakpuasan sesaat, melainkan puncak dari akumulasi keresahan sosial-ekonomi yang mendalam. Menurut Centre for Strategic and International Studies (CSIS), aksi-aksi ini dipicu oleh krisis legitimasi fiskal, dengan kepercayaan publik terhadap pemerintah runtuh akibat kontradiksi antara beban yang ditanggung rakyat dan persepsi pemborosan oleh negara.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, menjelaskan bahwa krisis ini muncul saat publik merasa terbebani oleh pajak dan berbagai iuran, namun di sisi lain melihat adanya pemborosan anggaran, seperti penambahan jumlah kementerian, rangkap jabatan di BUMN, hingga kenaikan gaji pejabat.
“Kontradiksi ini menciptakan krisis legitimasi fiskal. Karena pada dasarnya fondasi kepercayaan yang menopangnya itu runtuh. Dalam teori ekonomi politik kita ketahui bahwa pajak adalah kontrak sosial antara rakyat dengan negara,” kata Deni dalam diskusi publik CSIS, Selasa (2/9).
Menurut analisis CSIS, keresahan ini berdiri di atas setidaknya empat pilar utama: ketimpangan ekonomi yang persisten, lonjakan biaya hidup, rapuhnya pasar tenaga kerja, dan alokasi anggaran negara yang dinilai tidak berpihak pada rakyat.
Pertama, ketimpangan ekonomi dan harga pangan yang mencekik. Meski perekonomian tumbuh stabil pada kisaran 5 persen, hasilnya dinilai lebih banyak dinikmati sektor padat modal. Angka Gini ratio bertahan pada level 0,39, kelas menengah menyusut, dan jutaan warga hidup tipis di atas garis kemiskinan. Kondisi ini diperparah oleh harga pangan yang bergejolak, terutama beras yang mencapai Rp14.000–18.000 per kilogram.
“Inflasi umum memang rendah, tetapi harga pangan bergejolak. Misalnya beras, dengan harga tengah sekitar Rp16.000, jelas sangat membebani masyarakat,” kata Deni.
Kedua, pasar tenaga kerja yang rapuh. Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan 42.385 pekerja terkena PHK sepanjang paruh pertama 2025, naik 32 persen dari periode yang sama tahun lalu. Di saat bersamaan, 59,40 persen tenaga kerja (86,58 juta orang) masih berada di sektor informal tanpa jaminan pendapatan yang layak.
“Permasalahan di Indonesia bukan sekadar orang itu bekerja atau tidak, tapi apakah pekerjaannya bisa memberikan penghasilan yang layak. Hari ini pekerjaan berkualitas itu sangat terbatas,” kata Deni.
Ketiga, alokasi anggaran negara yang dinilai tidak adil. Di tengah tekanan ekonomi, pemerintah justru mengalokasikan anggaran jumbo untuk program seperti Makan Bergizi Gratis (Rp335 triliun) dan belanja pertahanan serta keamanan (Rp565 triliun), sementara pos belanja bantuan sosial cenderung mengecil.
“Permasalahannya adalah secara ironis arah belanja negara justru tidak adil dan malah menambah luka,” ujar Deni.
Sebagai penutup, ia menyoroti lemahnya transparansi dan akuntabilitas anggaran, yang semakin menggerus kepercayaan publik.
“Apakah dana-dana yang dikeluarkan itu benar untuk membeli alat yang layak bagi pertahanan dan kepolisian kita, atau malah digunakan untuk memukul rakyatnya sendiri,” katanya.