Demi Gengsi, Pengangguran Pakai Kantor Fiktif untuk Pura-Pura Kerja

Jakarta, FORTUNE - Di tengah tingginya pengangguran dan tekanan sosial, muncul tren aneh yang mulai mendunia: orang membayar untuk berpura-pura bekerja.
Fenomena yang awalnya mencuat di Cina ini ternyata juga sudah merambah ke Israel, memicu perdebatan tentang harga diri, tekanan keluarga, dan kreativitas dalam bertahan hidup.
Melansir BBC, di Cina, bisnis seperti Pretend To Work Company kian menjamur di kota-kota besar seperti Shenzhen, Shanghai, hingga Chengdu. Pesertanya, kebanyakan anak muda pengangguran atau pekerja lepas, rela membayar 30–50 yuan per hari (sekitar Rp65 ribu–Rp110 ribu) untuk “bekerja” di kantor tiruan lengkap dengan komputer, internet, ruang rapat, dan bahkan teh gratis.
Shui Zhou, 30 tahun, salah satunya. Setelah bisnis kulinernya bangkrut pada 2024, ia mulai “ngantor” di ruang kerja palsu ini. Bukan hanya untuk mencari kerja atau mengasah keterampilan AI, tetapi juga agar orang tuanya percaya bahwa ia tetap produktif.
“Yang saya jual bukan meja kerja, tapi martabat,” kata Feiyu, pendiri Pretend To Work Company.
Tak sedikit yang memanfaatkan fasilitas ini untuk memotret diri sebagai “bukti magang” demi memenuhi tuntutan kampus atau menghindari interogasi keluarga. Bagi sebagian orang, ini adalah cara menghindari rasa tak berguna dan depresi akibat sulitnya mencari pekerjaan.
Bos palsu dan makan siang gratis
Fenomena serupa juga terjadi di Israel. Di sana, orang membayar NIS 185 per bulan (sekitar Rp750 ribu) untuk bekerja di lingkungan kantor simulasi, lengkap dengan bos palsu dan makan siang. Demikian dilaporkan The Jerusalem Post.
Junghwa, mantan pegawai keuangan, menjalani rutinitas ini hampir setahun: bangun pagi, berangkat ke “kantor”, bekerja, lalu pulang sore—meski tak digaji. Alasannya? Ia tak ingin keluarganya tahu bahwa ia menganggur.
Awalnya ia mencoba bekerja dari perpustakaan dan kafe, tetapi suasana kantor palsu dirasa lebih “nyata” dan menjaga kedisiplinannya.
Pakar menyebut tren ini lahir dari kombinasi antara frustrasi, tekanan sosial, dan kebutuhan akan struktur dalam kehidupan sehari-hari.
Dr. Christian Yao dari Victoria University of Wellington menilai kantor pura-pura adalah “solusi sementara” bagi anak muda yang membutuhkan waktu untuk berpikir atau membangun usaha kecil sebelum mendapat pekerjaan nyata.
Sementara Dr. Biao Xiang dari Max Planck Institute menyebutnya sebagai “cangkang” yang memberi jarak dari tekanan masyarakat.
Meski tampak seperti penipuan diri, pendiri bisnis kantor pura-pura melihatnya sebagai eksperimen sosial. “Kalau hanya membantu mereka terus berpura-pura, itu penipuan halus. Tapi kalau menjadi titik awal untuk langkah nyata, itu keberhasilan,” ujar Feiyu.
Fakta bahwa fenomena ini kini ada di Cina dan Israel menunjukkan bahwa tekanan menjadi “produktif” di mata publik adalah isu global—dan beberapa orang rela membayar mahal demi mempertahankan ilusi itu.