Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Indef Ingatkan Risiko Fiskal di Balik Program MBG, Serap 10% APBN 2026

Sekda Kabupaten OKI, Asmar Wijaya saat melakukan sidak di dapur MBG. (Dok. Pemkab OKI)
Sekda Kabupaten OKI, Asmar Wijaya saat melakukan sidak di dapur MBG. (Dok. Pemkab OKI)

Jakarta, FORTUNE - Alokasi anggaran untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam RAPBN 2026 diperkirakan mencapai hampir 10 persen dari total belanja negara. Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM INDEF, Izzudin Al Farras, menilai alokasi tersebut sangat besar untuk satu program karena totalnya bisa menembus Rp335 triliun.

Menurutnya, beban fiskal sebesar itu berpotensi memangkas alokasi penting di sektor lain. “Secara kasar, program MBG saja hampir memakan anggaran 10% dari RAPBN 2026, tidak hanya Rp335 triliun saja, tapi juga ada pada fungsi anggaran kesehatan, ada anggaran kooperasi desa dan UMKM,” kata Izzudin dalam Diskusi Publik INDEF: Menakar RAPBN 2026 di Jakarta, Kamis (4/9).

Meski memiliki tujuan mulia, implementasi MBG dinilai masih jauh dari ideal. Dalam delapan bulan pelaksanaan, program ini justru menimbulkan masalah serius. Hingga 28 Agustus 2025, tercatat lebih dari 4.000 siswa menjadi korban keracunan akibat konsumsi makanan MBG.

“Jadi, dari total 8 bulan pelaksanaan program MBG, per 28 Agustus Pak Presiden menyampaikan bahwa MBG telah diterima oleh 23 juta penerima manfaat. Namun, dalam 8 bulan pelaksanaannya MBG telah memakan lebih dari 4 ribu korban keracunan dan berbagai permasalahan tata kelola yang buruk,” kata Izzudin.

Ia menilai korban tersebut tidak bisa dianggap sekadar angka statistik. “Nah, kalau sudah lebih dari 4 ribu korban ini, maka korban dianggap sekedar angka statistik, serta permasalahan terjadi karena lemahnya aspek perencanaan dan pengawasan,” ujarnya. Selain keracunan, persoalan distribusi makanan di lapangan dinilai tidak terkelola dengan baik.

Risiko tata kelola dan efisiensi

Izzudin menilai besarnya dana MBG membuat publik wajar mempertanyakan efektivitasnya. Selama delapan bulan, masalah yang muncul tak hanya keracunan massal, tapi juga lemahnya pengawasan dan distribusi.

“Penting bagi pemerintah melaksanakan program MBG secara bertahap, sehingga dapat memudahkan proses monitoring dan evaluasi program secara berkala, yang mana tadi itu tidak terjadi dalam 8 bulan terakhir, korban berjatuhan begitu saja, tata kelola buruk,” ujarnya.

Ia juga menyoroti perlunya efisiensi APBN. Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih selektif dalam menentukan prioritas belanja, agar ruang fiskal tidak habis oleh satu program. Izzudin menegaskan pelaksanaan program MBG harus realistis. Jika dipaksakan berskala nasional tanpa uji coba terbatas, risiko kebocoran anggaran maupun kegagalan implementasi semakin besar.

Ia mendorong pemerintah meninjau ulang skema MBG, termasuk mempertimbangkan model yang lebih murah dan efektif, seperti di Brasil. “Jadi, ini sudah ada best practice-nya, nilai bahwa skema yang kita lakukan dengan India ini belum berhasil, kita perlu exercise dengan pelibatan masyarakat yang lebih masif melalui percontohan atau skema yang telah dilaksanakan di Brasil,” ujarnya.

Menurutnya, pelaksanaan terbatas di sejumlah daerah akan memudahkan evaluasi sekaligus mengurangi beban fiskal. Dari situ, efektivitas program dapat diukur sebelum diperluas secara nasional.

“Dengan demikian, maka tadi dengan pelaksanaan secara bertahap dan cakupannya yang lebih kecil terlebih dahulu, skema yang diperbaiki, itu tentu ada beberapa implikasi yang kita harapkan bisa terjadi di tahun 2026 mendatang yang pertama terkait anggaran, kapasitas fiskal tidak tertekan, hanya untuk memenuhi nafsu pada satu program MBG saja,” pungkasnya.

Program MBG menyerap anggaran jumbo hingga Rp335 triliun, setara hampir 10 persen RAPBN 2026. Namun, sederet persoalan mulai dari ribuan siswa keracunan, lemahnya pengawasan, hingga risiko fiskal yang menggerus sektor lain, membuat INDEF mendesak agar pemerintah menjalankannya secara bertahap. Dengan evaluasi menyeluruh dan skema yang lebih efisien, tujuan mulia meningkatkan gizi anak bangsa dinilai bisa tercapai tanpa menimbulkan beban fiskal yang berlebihan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pingit Aria
EditorPingit Aria
Follow Us